Jumat, 21 Januari 2011

Orang Gila Dari Balik Jendela

>> Ramdhani Nur <<

balik jendela

Orang gila yang selalu kulihat dari balik jendela ini adalah ibuku. Begitu menurut cerita orang-orang yang merawatku. Aku ingin tak memercayainya, tapi kisah yang sering terlontar tiap kali orang gila itu mondar-mandir di depan jendelaku begitu meyakinkan. Katanya wajahku mirip dengan dia. Wanita yang pernah begitu cantik. Terutama pada saat dia menikah dengan seseorang yang mungkin adalah ayahku. Pernikahannya tak lama, tak sampai setahun. Katanya, ayahku bermain gila dengan perempuan lain saat usiaku masuk bulan ke tujuh di dalam kandungannya. Ibu marah besar. Ibu sangat membenci ayah, ibu juga membenci peninggalan ayah dalam perutnya. Entah apa yang diperbuat ibu padaku, yang jelas tak sampai sebulan sejak peristiwa perselingkuhan itu aku terlahir. Bagian kisah inilah yang meyakinkanku jika aku adalah anaknya. Karena tiap kali dia terlihat dari balik jendela ini, aku selalu kesulitan untuk sekadar melambaikan tanganku yang bergerak begitu kaku, atau sapaanku yang tak pernah jelas terucap sebagai sebuah suara.
****
Bandung, 18 Desember 2010
*gambar diambil dari www.istockphoto.com


** Cerita aslinya ada di sini

Kotak Musik : Lullaby

>> Arif Hidayat <<


Prosa

Hapus Teman | Kirim Pesan

Arif Hidayat

yeehhaaaaaahhh..... udah gak kebalik lagiii :)

Kotak Musik : Lullaby

FIKSI | 18 December 2010 | 16:48 85 50 3 dari 5 Kompasianer menilai Inspiratif
12926644051663298767
Ilustrasi/surga-kaki-pelangi.blog.friendster.com


.
[Jakarta, 2010]
.
Kepulan asap rokok masih menemaniku. Terselip dari sela-sela bibir dan barisan gigi yang menguning. Lincah tanganku memainkan rokok yang terselip di jari. Meski tak selincah badanku yang sedikit gemuk, teronggok berat di atas sofa. dalam balutan gaun ketat yang agak terbuka. Namun malah semakin tidak memperindah penampilanku. Tak peduli, penampilan bagiku tak penting. Yang penting penampilan mereka, barisan gadis belia yang menunggu takut. Menanti kata vonis dariku.
.
“Siapa namamu?” tanyaku pada gadis terakhir yang ku seleksi hari itu. Dalam pencahayaan yang tak seberapa terang itu, aku masih bisa mengenali manis wajahnya yang sedikit terlihat lugu.
“Sabrina, Bu,” jawabnya sambil tertunduk, aku pun ikut tertunduk. Nama itu mengingatkanku pada kenangan lama yang sudah kulupakan.
“Berapa umurmu? Dan satu hal! Jangan panggil aku ibu, aku bukan ibumu! Panggil saja aku Mami, seperti yang lain.” Sambungku ketus sambil berusaha menguasai keadaan. Aku paling tidak suka dipanggil dengan sebutan itu.
“18 tahun, Mami.”
“Mmm, bagus. Masih perawan?” tanyaku menyelidik.
Dia hanya terdiam. Jelas nampak terlihat risih dengan pertanyaanku. Kulirik salah seorang asistenku. Dia Paham maksudku. Sedikit pendekatan rasanya perlu untuk gadis itu.
“Hei, Sabrina! Kalau ditanya Mami, kamu harus jawab!” bentak asistenku tanggap.
“Ma.. masih, Mami,” jawabnya seraya takut. Masih bercampur ekspresi risih tadi. Ah, aku suka melihat emosi seperti ini. Dan jawabannya tadi yang membuatku lebih merasa senang. Tentunya akan ada harga khusus yang bisa kumanfaatkan untuk ini.
“Periksa barang bawaannnya!”
Perintahku langsung disambut segera oleh asistenku. Aturan ini kuberlakukan kepada semua anggota baruku. Aku tak ingin mereka menyimpan barang-barang yang berbahaya. Alat komukasi seperti HP termasuk salah satunya. Setidaknya selama 3 bulan pertama mereka tak boleh melakukan komunikasi sama sekali ke luar. Bisa berbahya bagi bisnisku kalau mereka ‘bernyanyi’.
“Apa ini?” tanya asistenku ketika mendapati sebuah kotak berwarna coklat tua .
“Ini kotak musik milik saya, Pak. Saya mohon jangan disita. Ini satu-satunya pemberian Ibu saya” gadis itu memohon .
“Biar kuperiksa dulu!” balas asistenku. Dengan cekatan ia membuka kotak itu.
Alunan melodi terdengar dari kotak itu. Lullaby. Sebuah pengantar tidur. Pikiranku nanar. Entah apa yang membuatku merasa seperti dunia ini berhenti. Kulangkahkan kakiku keluar ruangan itu. Meninggalkan tanda tanya di raut asistenku yang tidak mengerti dengan sikapku. Aku tak peduli. Aku pun tak tahu apa yang harus kuperbuat. Sungguh aku tak tahu.
*
[Jawa Barat , 1999]
.
“Bu… Ibu mau kemana?”
“Ibu mau pergi, ‘nak. Kamu baik-baik ya sama bapakmu.
“Enggak boleh! Pokoknya Ibu enggak boleh pergi!”
“Sayang, maafkan Ibu ya. Ibu terpaksa harus pergi. Ibu dan Bapakmu sudah tidak bisa bersama lagi.”
“ Tapi, Bu…”
“Nak, dengarkan Ibu, ya. Ibu enggak mau meninggalkan kamu. Tapi Ibu harus. sekarang kamu sudah besar ‘nak. usiamu sudah tujuh tahun. Ibu yakin kamu akan baik-baik saja sama Bapakmu. Jadi anak yang baik. Ibu sayang Kamu, ‘nak.”

Masih kuingat perpisahan itu. Tangis anakku. Lullaby yang mengiringi sore itu. Dan sebuah kotak musik berwarna coklat tua yang kuhadiahi padanya. Terukir namanya, ‘Sabrina’.
.
Salam
.
Catatan : kisah ini hanya fiksi belaka, jika ada kesamaan nama dan tempat, hanya kebetulan saja… :)
.
**Cerita asli ada di ladang ini

Gara-Gara Bola (3)

>> Syamsinar <<


1292651327214623516
“Urusan bola, sangat sensitip, Pap, bahkan polisi pun susah ngaturnya.  Kemarin, di Tv banyak yang benjol kepalanya, cuman gara-gara bola.“
“Ah kamu, dinasihati, malah ngeyel!”  kesal papa.
“Ipul.. Ipul, ayo kita main!” Terdengar suara Rani anak tetangga sebelah, meski perempuan, tapi dia jago main bola.
“Eh, itu pasti Rani. Tunggu sebentar,  saya ambil bolanya dulu!”   Ipul  lari mengambil bola lalu pamit, ” Pap… aku pergi main!”
“Hei, Ipul tidak boleh pergi, nanti  kamu berantem juga sama Rani.”
” Tidak, kok, Pap!  Rani, kan, bukan saudara Ipul.”
Nyengir,  Ipul  melesat ke luar rumah. Papanya hanya bisa melongo.
Tak lama kemudian, Ipul masuk ke rumah. Jalannya pincang dan matanya sembab habis menangis!
“Akhirnya berantem juga sama Rani, ya?”
” Nggak, Pap..! Saya gak pukul Rani, tapi Rani yang pukul saya!”


* iseng lanjutkan cerita Bang Ma’mar. :)
Ilalang, Soroako, Ceritaku.


*** Tulisan asli ada disini

Sms Ibu

>> Uleng Tepu <<
 

minjem dari om gugle

Titit…titit… getaran handphone mengalihkan pandanganku dari tumpukan berkas hasil tender yang baru dibawa oleh Nia, sekretarisku.
Nak, ini Ibu pakai nomor lain. Ibu sekarang di rumah sakit. Habis nabrak orang. Hp ibu kehabisan pulsa, tolong kirimin pulsa.
Pesan singkat itu berasal dari nomor yang sama sekali tak kukenal. “Ah, ini paling penipuan seperti yang diberitakan media-media beberapa waktu silam,” batinku sambil memilih opsi delete. Bodoh benar si Ibu yang berniat menipu ini, modusnya sudah terendus.
Sejam kemudian handphoneku kembali menerima pesan yang sama.  Dikiranya aku bodoh. Penipu kok ditipu?
Jam lima sore, tubuh lelahku  kusandarkan di sofa.
“Mas, Ibu sekarang ada di kantor polisi. Tadi pagi nabrak orang. Orangnya meninggal di rumah sakit,” istriku yang sedang memberi makan anakku berbicara tanpa menatapku.
Dasiku yang belum kulepas terasa makin sempit.

================================
Weekend dengan ide yang menguap…
Mas Dhani…masuk tema ga ya…?   :)


** Tulisan ini ada di beranda Uleng

Gara-Gara Bola

>> Ramdhani Nur <<
 
bola

Subuh dini hari ini, pertandingan sepak bola di tv seru sekali. Barcelona kontra Real Madrid. Sajian yang tak mungkin saya lewatkan. Dan memang tak terlewat. Tepat beberapa menit sebelum pertandingan dimulai saya dibangunkan istri. Secangkir kopi juga cemilan yang dibelinya semalam sudah tersaji. Cuma sebentar istri saya menemani. Entah ke dapur atau kembali tidur, sebelum berlalu dia hanya mengingatkan saya untuk menjemput si sulung pulang dari study tour menjelang siang nanti. Sementara dia mesti mengikuti rapat dewan guru di kabupaten.
Gooolll! Ya, hahaha! Villa mencetak gol! Kedudukan 2 - 0 sekarang. Dan tak perlu menunggu lama lagi, gol-gol lain pun tercipta. Sungguh saya benar-benar puas. Tim favorit saya menang telak. Permainan mereka pun sangat indah. Dua jam berlalu seakan tak terasa, pertandingan pun usai. TV lalu saya matikan. Entah jam berapa saya tertidur, tapi saya tahu persis saat terbangun. Pukul 11 lebih lima. Itu karena suara dari pintu rumah yang terbuka dan si sulung yang ngomel tak jelas di depan ibunya.
“Tu kan, Papa masih tidur! Asri udah telepon berkali-kali tapi nggak diangkat. Mama nggak percayaan sih…!”
****
Bandung, 17 Desember 2010
*dasar bapak!
*gambar diambil dari www.eleonoramarshya.blogspot.com


**Tulisan asli ada disini

Berkelahi

>> Syamsinar <<


“Ah, biarin. Rasakan sekali lagi pukulan godam ku, hyaattt duarrr!”
“Huuuuuu… kakak jahat, sakit tau, liat kepala Dede berdarah!”
“Neh, kutambahkan tendangan maut, biar kamu mampus sekalian!”
“Aaaahhh, jangannn… Dede belum mau mati, Kak Alief!”
Suara Dede yang sedari tadi ribut, membuat ibunya lari terbirit-birit dari dapur!
“Loh, Dede apamu yang berdarah tadi, Nak ?”
“Kepala Dede kena godam Alief!”
“Mana, coba lihat!”
“Tuch.. Di layar tv tertulis “Game Over.”
“Horrrreeeee…menangg….!” Alief teriak  riang.

Ilalang, Soroako, Ceritaku
PS. Maaf, lagi belajar, tidak cukup 100 kata, apa ini termasuk FF ?

**Cerita aslinya ada disini 

Ibu

>> Ma' Mar <<

“Dia menyiksaku dan adik saat kecil. Melontarkan kata-kata kotor dan menghina. Begitu membenciku dan adik. Ibuku artis yang suka kawin. Hanya cinta pada anak dari suaminya sekarang. Aku mau menuntutnya ke meja hijau.”
Suara itu keluar dari seorang remaja 19 tahun di depan wartawan. Bersama dua adiknya dia tinggal di rumah pengacara karena trauma dengan ibunya. Sudah seminggu dia tinggal di sana dan wartawan selalu setia meliput.  Proses persidangan masih berlangsung.
“Bukankah dia wanita yang melahirkanmu?”
“Benar. Tapi bila anda tahu apa yang aku alami, tidak pantas dia dipanggil ibu. Binatang saja sayang pada anaknya. Dia tidak.”
*
Malamnya remaja tadi mendapat sms.
“Bagus, nak. Aku lihat kamu di infotaiment baru saja. Untuk menjadi artis memang harus begitu. Terus maki aku di depan kamera. Sebentar lagi pasti ada produser yang menawarkan bintang iklan. Jangn lupa hapus sms ini. Mama.”
*****
17 Desember 2010
Menjawab tantangan Bang Arif Hidayat bikin ff
semoga layak dibilang ff


** Asal tulisan ada disini

Tangis Ibu

>> Ramdhani Nur <<


“Ibu nangis terus, Pak!”
“Biarlah, Gus!”
“Lha…apa Bapak ndak kasihan sama Ibu?”
“Ya, kasihan! Tapi mesti gimana lagi, Bapak sudah ndak bisa lagi ngebujuk ibumu.”
“Saya juga ndak bisa, Pak! Ibu kayak yang sedih betul. Apa gara-gara kita ndak ngajak Ibu pergi ke Semarang nengok Mas Slamet?”
“Ndak juga! Lha wong ibumu bilang ndak dapet ijin cuti dari pabrik.”
“Kasihan Ibu…”
“Sing sabar ae, le!”
Seorang wanita paruh baya dibujuk keluar dari kamar itu. Tangisnya tak henti meraung. Dua mayat yang terbaring di sana adalah benar suami dan anak lelakinya. Korban kecelakaan maut bis antar kota siang tadi.
****
Bandung, 17 Desember 2010
*Mencoba kembali FF singkat



Awal tulisan ini disini

Audisi

12923750731811391164


>> Ma'Mar<<


Giliran Putri tampil. Diiringi musik klasik nada mencekam, Putri mulai menari balet.  Dua menit pertama gemulai tubuhnya menyihir juri, pemirsa di studio dan di rumah. Gerakannya indah seperti kotak musik yang di atasnya memutar boneka  perempuan dengan tangan di atas. Kemudian aksinya menjadi orang yang sedang memukul dan membanting anak kecil. Mukanya merah dengan napas tersengal. Masih dengan lenggak-lenggok penari balet, seolah dia mengambil anak kecil itu lalu mencekiknya, dan dibenturkan ke dinding.

Sekarang dia menari bagai anak kecil yang disiksa. Ekspresi mukanya jelas bagai orang ketakutan seperti melihat setan. Halus lembut tariannya, sambil berlari minta tolong. Dia jatuhkan sendiri tubuhnya. Rambutnya seperti dijenggut dan dibenturkan ke lantai. Beberapa penonton alisnya melorot membentuk hurup S tanda binggung. Ada juga yang tertawa mungkin dikira pantomin. Tapi tepuk tangan mengakhiri aksinya.

“Okeh.. Itulah Putri dengan tarian baletnya. Indah sih tapi saya tidak begitu mengerti dengan gerakannya. Biarlah juri yang akan komentar. Ayo silahkan para juri..” Ucap host pencari bakat
“Saya suka gerakannya, indah. Kostumnya juga saya suka, hitam seperti makna dari gerakannya. Tapi kalau boleh kasih masukan, buat yang akan datang, pilih tema yang lain, yang lebih ceria. Tapi saya yakin kamu akan maju ke babak berikutnya.” Juri pertama beri komentar.
“Gimana ya, aroma kekerasan begitu kental. Tidak pantas dipamerkan saya pikir. Tapi secara gerakan balet, indah. Sangat indah. Sempurna. Kamu sangat menghayati dan piawai melakukannya. Biarlah sms nanti yang menentukan. Mudah-mudahan kamu lolos.” Ini dari juri ke dua.

Penonton dan host binggung. Tapi Putri tersenyum. Juri ketiga nangis. Basah pipinya.  Isaknya terdengar jelas karena mic tepat di mulutnya. Tapi dia berusaha tegar karena acara itu live.

Butuh lima menit baru dia komentar.
“Maafkan aku Putri. Kamu kemana saja selama ini. Ibu selalu mencarimu. Gara-gara ayahmu yang tidak pulang-pulang jadi kamu yang aku siksa. Maafkan aku sayang…”
**
15 Desember 2010


Intip cerita di sini

Maaf, Aku Ada Di Antara Kalian

>> Triansyah Pj <<

Kubawa nampan makananku mengelilingi resto cepat saji ini. Selalu saja aku kalah. Terlambat lima menit saja, bisa tidak kebagian tempat duduk. Kulemparkan pandangan ke seluruh ruangan. Ah… hay… ada satu bangku kosong di dekat pintu keluar.
Eng ing eng…. Langkah pun berayun menuju kesana.
“Sorry, bang… ada orangnya. Tuh lagi cuci tangan…” kata mbak manis di kursi sebelah.
“Ooohh……….” Oh-ku yang pasrah.
Putar badan balik kanan, cari tempat melabuhkan pantat. Nasib baik, jarak tiga meja ternyata ada dua kursi kosong.
Cepat…., cepat……!! Yess, akhirnya satu kursi kudapat, tapi ternyata kursi itu basah dan kotor. Ada sisa saus Tomat menempel dengan anggun. Kursi satunya pun sama, tumpahan es krim menggenang disana. Hmm, pantas saja kursi-kursi itu kosong.
“Coba di sebelah sana, bang….. sudah agak kosong, tuh…” sapa pelayan seraya menunjuk sudut di dekat jendela.
Yup, benar. Di pojok dekat jendela, terhalang rimbun pohon Palem kecil. Meja dengan empat buah kursi. Dua kursi telah terisi, dua kursi masih kosong. Sepasang ABG duduk bersebelahan. Cuma dua gelas jus Alpukat diatas meja. Tanpa makanan, tanpa penganan.
Dua ABG menyambutku dengan cemberut. Acara saling pegang tangan seketika terputus. Sang cewek menarik tangan dengan muka berona merah. Si cowok tergagap dengan muka kurang ramah. Aku hadir tanpa mereka duga. Sialan ini orang, mungkin begitu umpat mereka.
“Permisi……………” Sapaku ramah, kulabuhkan pantat di kursi seberang si cewek.
“Yuk, makan yuk…” ajakku ramah pada keduanya.
Tidak ada sahutan, yang ada hanya tatapan sinis dari si cowok. Ah, peduli amat. Ini tempat makan, bukan tempat orang pacaran. Maaf yah kawan, aku hadir diantara kalian. Bagiku sekarang waktunya makan. Reality show pegang tangan kalian di selang iklan sebentar.


** Tempat ngintip cerita ini

Aku Tak Bisa Melamarmu

>> Triansyah Pj <<


Malam Minggu di penghujung tahun, di teras rumah kontrakannya Santi. Di remang sinar lampu yang temaram, yang seolah enggan memberi penerangan. Santi dan Joni duduk berduaan dalam kebisuan yang canggung. Pertemuan kembali dua insan setelah tiga tahun berpisah.
Santi memandang Joni penuh keheranan. Banyak perubahan pisik yang terjadi pada sang kekasih. Wajahnya kini putih bersih bak pualam, suaranya pun merdu dan menggairahkan. Sangat berbeda dengan tiga tahun silam, saat wajahnya masih hitam kumal, dengan suara serak yang bikin mual.
Kembali Santi teringat ucapan Joni sewaktu pamit padanya tiga tahun lalu.
“Santi, setelah kehidupanku mapan nanti, aku akan datang untuk melamarmu jadi istriku.”
Santi kembali menatap wajah Joni lekat-lekat. Pelan Santi berucap memecah kebisuan.
“Jon, bertahun sudah aku menunggumu, buktikan janjimu. Segera lamarlah aku…”
Joni diam sejenak, lalu dengan suara yang nyaris tidak terdengar Joni menjawab.
“Santi, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janji itu. Aku tidak bisa melamar dan menikahimu…”
“Kenapa Jon? Apakah kau ragu dengan kesetiaanku…?” Suara Santi tercekat.
“Tidak, Santi. Sungguh kesetiaanmu tidak pernah kuragukan” Joni menjawab penuh kegalauan.
“Lalu kenapa? Apakah engkau sudah menikah dengan wanita lain” suara Santi mulai histeris.
“Aku tidak punya wanita lain. Sungguh..!!” Joni meyakinkan Santi.
“Lalu kenapa? Kenapa Joooonn…???” Kali ini Santi sudah mulai tidak terkendali.
“Karena sekarang aku bukanlah Joni, aku adalah Jeni. Aku sudah operasi ganti kelamin….” Jeni menunduk ketakutan.
“What…??!!” Santi tiba-tiba jatuh terkapar.
“Santi…. Jangan dulu pingsan dong… Eike akan jelaskan…. Santi… iiihh, sebel deh eike…. Baru mau dijelasin udah loyo…. Sebbeeeelll….” Jeni berteriak histeris.



**Dapat diintip juga disini  klik yaa...

Senin, 10 Januari 2011

2 Gadis Petualang… (ECR # Epis 73)

2 Gadis Petualang… (ECR # Epis 73)
Hm Zwan
12946556221952035036
Disudut lain dikosnya zwan..
“zwan..Zwan..Bangun,dah maghrib tuh”ujar miss rochma sambil membangunkan zwan
“hoahmm,jam berapa mis?”
“jam 6.20,buruan bangun.Dari tadi aku teriak-teriak dari bawah,eh ternyata kamu masih tepar”ujar miss rochma sambil berdiri melihat kalender
“weh,yg bener?Lumayanlah hbs jalan-jalan ke puncak gunung sharian.Hoahmmm”ujar zwan sambil merentangkan tangan
“apa?Jalan2 ke puncak gunung?Ngimpii hahaha”ujar miss rochma spontan sambil tertawa
“kok ketawa?Ada yang aneh?”
“halloww,bangun zwan…Lha w0ng dari tadi pagi kamu maen diwarnetnya nyimas,pulang-pulang dah langsung tepar…”ujar miss rochma sambil membangunkan paksa zwan
“loh?Masak sih..?”tanya zwan spontan langsung bangun dan mengucek-ngucek matanya
“hahaha,dasar orang aneh..Ngimpi apa kamu?”tanya miss rochma sambil tersenyum
“huhuhu…Berarti itu mimpi dong??Hoeee…”
“hahaha,yaudah kapan-kapan kita jalan pagi ke puncak ya.Pasti seru…Buruan sana bangun shalat…”ujar miss rocha sambil meninggalkan zwan
Malam itu zwan memandang langit yang bertebaran bintang,dari matanya terlihat tanda sedikit kekecewaan atas mimpinya tadi sore yang ternya hanya mimpi belaka.Entah tiba-tiba di pikirannya terlintas ingin berpetualang ke tempat KKN-nya sewaktu masih kuliah dulu,di dusun Sidowayah di kaki gunung rajegwesi ponorogo..Okey,besok berangkat zwan!!
Pagi-pagi zwan bersiap untuk berpetualang ke ponorogo,entah tiba-tiba ditengah perjalanan meninggalkan desa rangkat ia bertemu dengan jeng pemi yang duduk manis di depan rumahnya, dan disusul dengan kemunculan dewa yang spontan ingin ikut berpetualang ke ponorogo.
“beneran wa??”tanya zwan untuk meyakinkannya
“iyya zwannn…Kamu duduk sini dulu,aku mau ke dalem bentar.Bentar…Aja,ya zwan”ujar dewa dengan sedikit tergopoh-gopoh
Tak lama setelah dewa dan jeng pemi masuk ke dalam rumah,jeng pemi keluar menemui zwan..
“zwan,aku nitip dewa ya..Dia beneran pengen ikut kamu mbolang”ujar jeng pemi sembari duduk disamping zwan
“hehe,iya jeng..Tenang aja,dewa sudah berada ditangan yang tepat hehehe”
“hahaha…Mau mbolang ke mana lagi zwan?”tanya jeng pemi sambil sesekali memijat punggung zwan
“wah,seneng aku jeng kalo tiap hari dipijetin kayak gini hahaha..Emm,ke ponorogo tempat KKN-ku dulu jeng, di kaki gunung rajegwesi. Nggak tau kangen aja sama tempat itu….Pasti dewa seneng..Aku jamin jeng,cocok dengan bidangnya”ucap zwan sambil memandang lurus ke depan
“iya zwan aku percaya…Pokoknya aku padamulah hahaha”ujar jeng pemi sambil tertawa dan disusul zwan
Tak lama kemudian dewa keluar sambil membawa ransel,terlihat ada keceriaan diwajahnya.Ah,dewa..Ada apakah gerangan?
“ayo zwan,let’s go!!”ajak dewa dengan mengambil tangan zwan
“hati-hati ya wa..Zwan,aku nitip dewa ya” ujar jeng pemi sambil memeluk dewa dan sesekali matanya memandang zwan
“iya jeng…Doain kita selamat sampai tujuan,tenang aja nanti kita kabari.Ayo,senyummm..”ujar zwan untuk meyakinkan jeng pemi,lalu merekapun berpelukan
Dua kembang desa itu,zwan dan dewa akhirnya meninggalkan desa rangkat. Dua gadis yang tengah gundah,resah dan entah apalagi yang mereka rasakan atas peristiwa yang menimpa mereka berdua. Dewa, dengan laki-laki aneh itu dan Zwan, kekecewaanya dengan mister GPS..
Dalam perjalanan dihati mereka paling dalam tersimpan harapan yang sama, sepulang dari ponorogo harus membawa pangeran dari negeri kayangan.
Owh, My God….ada-ada saja..!!!!!
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Mencoba…mencoba…dan terus mencoba!!!!!
Malang, 10 Januari 2010. at 17.13 am
-With love: Istianah hanan mazaya-

Tags: fiksirangkat, desarangkat, hmzwan

Minggu, 09 Januari 2011

Kembang…Syair Terakhir Untukmu! (Episode Cinta Rangkat #72)

Kembang…Syair Terakhir Untukmu! (Episode Cinta Rangkat #72)
Reynando Ardiansyah Zulkarnaen
Dalam Gemericik Sungai Rangkat. Di atas bebatuan, Penyair Jalanan Termenung sendiri. Merasakan hati yang membuncah. Peperangan batin yang terus menggebu – gebu membuat dia semakin sedih. Cinta yang selalu diagungkan sebagai sebuah keindahan yang tak tergantikan kini telah ternoda…
Kembang… entah kenapa selalu dengan kembang ia terluka. Sebelum menetap di desa Rangkat, ia menjadi gila juga karena kembang.
“Ach.. kembang… Harummu menyayat kalbu !”gumam Penyair dengan tetesan matanya yang mengalir lembut di pipinya.
~~ooO0Ooo~~
Aliran sungai rangkat yang bening. Kupu – kupu terbang kesana kemari dengan corak warna yang anggun dan menawan. Dedaunan hijau. Dan serpihan – serpihan air terjun memantulkan cahaya mentari menjadi sebuah pelangi.
Udara segar yang tercipta dari makhluk – makhluk Tuhan yang bertasbih, berhembus semilir menerpa wajah penyair dengan lembutnya. Perlahan… Ia menghirup nafas dalam – dalam dan mensyukurinya sebagai suatu nikmat yang tak tergantikan.
~~ooO0Ooo~~
Di batu besar…. dimana dibawah mengalir air sungai rangkat yang bening dan berenang bermacam – macam ikan, penyair mencurahkan isi hati kepada Tuhan tentang kegalauan hatinya yang selama ini ia rasakan.
Ya Tuhan… Kaulah yang menciptakan semua keindahan. Kau pula yang menghadiahkan sebuah keindahan. Dan Kaulah yang menghadiahkan Cinta sebagai sebuah keindahan yang terindah. Tapi kenapa keindahan cinta yang kau hadiahkan pada hamba  membuat luka dan lara yang tersemat dalam palung hati ?
Ya Tuhan… Kau ciptakan Rahasia di dalam Rahasia. Kau pula Memberi apa yang Hamba butuhkan bukan hamba inginkan. Dan Kau pulalah yang membuka Tabir kebenaran Cinta Sejati. Maka.. segerakanlah Kau ungkapkan Rahasia di dalam Rahasia-MU. Segerakanlah Kau Berikan apa yang Hamba Butuhkan. Dan segerakanlah Kau buka Tabir kebenaran Cinta Sejati untuk Hamba…….” lelehan air mata yang mengalir diantara pipinya, kini menjadi gerimis dalam hati. Gerimis yang menyirami kekeringan hati.
~~ooO0Ooo~~
Suara nyanyian alam yang syahdu dan merdu, mencoba mengusap lelehan air mata dan gerimis hati Penyair Jalanan yang terus mengguyur. Ketika air matanya berhenti, ia mengambil buku catatan yang selalu di bawanya dan menuliskan sebuah puisi. Tentang rasa cinta, tentang sebuah asa, tentang sebuah impian, tentang sebuah masa depan.


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Segenap rasa aku curahkan
Segenap cinta aku dendangkan
Segenap jiwa aku lakukan
Segenap hati aku torehkan
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Untukmu Wahai Bunga dalam Lagu
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sengaja ku jadikan air sebagai saksi bisu
Tentang retaknya bahtera yang ku buat
Dari rasa cinta kepadamu
Wahai Bungaku
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sengaja ku jadikan batu sebagai penopangku
Pilar – pilar yang runtuh
Ambruk berkeping – keping
Menjalar dan menebar virus dalam kalbu
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sengaja pula ku jadikan pelangi sebagai pengindahku
Karena cinta ini tak seindah dulu
Tak seperti kuncup bunga mawar melati
Mekar di pekarangan kalbu
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sungguh hancur hatiku
Kala kau pilih Dia dan Dia
Sebagai pengindah cintamu
Sebagai Kuncup yang mekar di pekarangan kalbu
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Wahai ikan…
Kau dengar kan Tentang Asaku ?
Kau dengar kan Tentang Mimpiku ?
Kau dengar kan Tentang inginku ?
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tolong sampaikanlah padanya…
Wahai Ikan..
Tentang Asaku
Tentang Mimpiku
Tentang Inginku
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Dan Bersama Air
Berenanglah, sampaikan salam Cinta
Yang tak berbalas Indah
Kini Menjadi hamparan samudera
Mengering, tanpa suatu Keindahan Yang Terindah
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Dengan sedikit senyum sungging menahan kepedihan yang ada,ia menutup buku catatannya dan menyimpan bait – bait itu sendiri. Agar ia menjadi saksi bahwa ia pernah mencintai Kembang yang harum dan menjadi Syair Terakhir untuknya.
Indah nian langit biru. Dengan matahari condong ke ufuk barat dan cahyanya melukiskan guratan – guratan pena sang Pencipta Alam. Tampak ia masih duduk menikmati suasana sore itu dan bermain – main di sungai Rangkat. Bagai anak kecil yang tanpa beban. Tanpa tangisan. Tanpa kesedihan…. tenang setenang suasana sungai Rangkat…

Tags: desarangkat, kalbu, desarangkat:episodecinta, desa rangkat : episode cinta, desarangkat, syair, desarangkat : episodecinta

Menjelajah, Mengobati Hati…(Episode Cinta Rangkat #71)

Menjelajah, Mengobati Hati…(Episode Cinta Rangkat #71)
Dewi Wahyu Kurniawati
| 09 January 2011 | 03:30
Total Read


Cuaca pagi yang cerah di desa rangkat, secerah suasana hatiku saat ini. Mentari belum lagi menyembul, ketika jeng pemi sibuk dengan minyak - minyak pijetnya yang ia jejerkan di meja ruang tamu, persiapan memijat hari ini.
“Rencananya hari ini ada pijet di mana jeng ?” tanyaku sambil membantu merapikan minyak pijet beraneka aroma yang ia letakkan di meja.
“Hari ini special buat mas Hans, jadi gak terima orderan pijet yang lain” jawabnya sambil tersenyum ramah padaku.
“Ehm… mas hans” ucapku padanya. Lagi – lagi ia hanya tersenyum. Kubalas senyumnya sebisaku, berharap tak ada pertanda yang ia lihat. Slesai membantu jeng pemi membereskan minyak pijetnya dan meletakkannya pada sebuah rak khusus minyak pijet, aku pamit ke belakang untuk membereskan piring dan gelas bekas sarapan kami pagi ini.
“Ah… pria itu” batinku dalam hati. Tak hendak ku mencari sakit, karena setiap orang tak ingin merasakan sakit. Tapi kekagumanku pada pria itu, biarlah hanya aku dan Tuhan yang tahu. Perlahan tapi pasti, harus kukubur rasaku padanya. Mencoba menata hati untuk yang lain. Tiba – tiba aku teringat bocah ingusan itu. Ya, peristiwa itu masih membekas di hatiku. Tapi tak hendak ku menyalahkan dia, ada rasa yang jelas – jelas ia pendam, tak tahu apa. Berharap ia sukses dengan tobatnya dan memberikan kabar baik pada kami semua. Dan ingatanku kembali menerawang pada sosok pria berkacamata di desaku dulu, sebelum aku hijrah ke Desa Rangkat ini. Pria berkacamata yang juga hanya akan menjadi bagian dari imaji dan khayalku saja, nyaris terlalu sempurna untukku. Berkharisma, tampan, berpendidikan dan baik hati, memang terlalu sempurna untukku yang hanya seorang tukang obat yang kabur dari ibu tirinya karena hendak dinikahkan dengan juragan sapi kaya raya.
Sabtu, selalu menjadi hari dimana jeng pemi mengkhususkan pijatnya hanya untuk mas hans. Pijetnya tutup. Itulah yang selalu ia katakana padaku dan pada pelanggannya jika sabtu tiba.
“Mau kemana zwan?” terdengar suara jeng pemi berbicara dengan seseorang dari arah depan.
“Biasa jeng, hari sabtu jadwalnya mbolang” jawab orang yang diajak bicara oleh jeng pemi.
“Zwan…..” ucapku. Aku segera meletakkan gelas dan piring yang selesai kucuci pada rak piring. Kucuci bersih tanganku kemudian berlari kedepan.
“Zwaaaannnn…” panggilku dari dalam rumah jeng pemi.
“Kenapa lari – lari gitu dewa?” Tanya jeng pemi yang berdiri di depan pintu rumah  begitu melihatku berlari agak terengah.
“Gak apa – apa jeng” jawabku sambil berusaha mengatur nafasku.
“Apa dewa” zwan masih berdiri di depan gerbang rumah jeng pemi, menungguku membuka suara. Ku beri senyum terindahku pagi ini padanya.
“Aku boleh ikut mbolang hari ini ?” pintaku pada zwan. Jeng pemi yang berdiri di sampingku terlihat bingung dengan pertanyaanku, tak biasa. Bukan hanya jeng pemi, zwan-pun sama bingungnya. Tapi senyuman langsung mengembang dari bibir zwan.
“Beneran wa ?” tanya zwan meyakinkan. Aku mengangguk mantap.
“Waaahhhh… pasti seru neh ada temennya” jawab zwan kemudian. Syukurlah, tinggal restu jeng pemi yang beum ku dapat.
“Jeng, aku izin ya mau ikut mbolang sama zwan, mau sedikit merefresh otak” pintaku paja jeng pemi.
“Yakin dewa mau ikut sama zwan ? Biasanya zwan mbolangnya jauh loh” tanya jeng pemi dengan nada yang agak khawatir.
“Yakin, tenang jeng aku udah punya bekal kok” aku mencoba meyakinkan jeng pemi, semoga ia tak khawatir padaku.
“Bekel ?” ucap jeng pemi dan zwan berbarengan. Aku kemudian masuk ke dalam kamarku, mengambil sebuah tas ransel berukuran sedang. Kumasukkan beberapa potong pakaianku, tak lupa kumasukkan botol madu andalanku, balsam telon yang tak pernah absen dari tasku, HP, dompet, peralatan mandi.
“Semoga ini cukup” batinku sambil menutup relsleting tasku. Ups, ada yang terlupa…. Aku juga membawa beberapa botol jamu kunyit asam sebagai tambahan untuk staminaku. Setelah semua persiapan kurasa cukup, aku bergegas menemui jeng pemi dan zwan di depan rumah.
“Aku siap”. Dengan ransel menempel di pundakku dan senyum terindahku hari ini, aku menemui jeng pemi dan zwan yang asik duduk berbincang di depan rumah. Mereka lalu bangkit.
“Aku pamit ya jeng”. Ku peluk jeng pemi erat sebagai ucapan perpisahan kami, hanya sementara.
“Hati - hati ya dewa, kalo ada apa-apa jangan lupa kasih kabar, HP-nya jangan dimatiin biar aku bisa hubungin terus”. Aku tersenyum mendengar pesan jeng pemi, terdengar kekhawatiran di dalamnya.
“Titip dewa ya zwan” pesan jeng pemi pada zwan.
“Beres, tenang aja jeng, dijamin aman deh” dengan memberikan dua jempolnya gadis petualang itu berusaha meyakinkan jeng pemi.  Setelah berpamitan pada jeng pemi, kami berdua memulai perjalanan kami pagi ini. Petualangan baru akan aku mulai hari ini. Hhmm… apa ya yang akan kutemui hari ini ??? berharap bisa memberikan pengalam yang indah. Indah, sudah pasti akan ada banyak keindahan yang aku temui, dan luka ini semoga akan terbawa pergi…..
*Mencoba berimajinasi, berpetualang dalam imaji dan khayal….*

Tags: desa rangkat: episode cinta, fiksi: desa rangkat, dewa

Tanpa CINTA apalah artinya….. Rangkat… (ECR#70)

Tanpa CINTA apalah artinya….. Rangkat… (ECR#70)
Sabrina Shellby
| 08 January 2011 | 15:52
Total Read
5 dari 7 Kompasianer menilai Inspiratif.

1294476555430938588
**google**
Langit senja sore itu indah sekali , semburat jingga nan eksotis menaungi alam permai Rangkat. Senda gurau dan tawa renyah muda mudi Rangkat terdengar bagaikan simphony merdu di ujung hari itu. Sore itu pos ronda sedang di ambil alih oleh muda mudi Rangkat, mereka berkumpul untuk merayakan kepulangan Jingga sahabat mereka.
” Jingga… Kita  harap kamu gak pergi pergi lagi dari Rangkat kita tercinta ini, beda tau kalo gak ada kamu… ” Pemi berucap dengan serius. Muda/i yang lain tampak mengangguk angguk setuju.
” Betul itu, gak ada Jingga kurang greget. Koleksi gadisku berkurang satu…” Sambung Lala yang di sambut seruan huuuuu berjamaah oleh yang lain. Wajah Jingga tampak bersemu merah jambu.
” Walaupun kita sudah off, bukan berarti aku tidak merindukan kamu Jingga… Kamu tetap ada di hatiku.. Welcome back Jingga… ” Refo tak kurang lebay gombalnya. Dwee tampak mencibirkan bibir indahnya mendengar pengakuan Refo. Jingga yang melihat hal itu hanya tersenyum kecil.
” Hahaa… tenang Dwee, aku sudah gak ada apa apa koq ama refo, kini dia milikmu seutuhnya… ” katanya sambil mengedip genit.
” Hmmm… Banyak yang berubah di Rangkat, aku ketinggalan banyak hal indah di sini, dan aku gak mau kehilangan lebih banyak lagi, oleh karena itu, aku janji gak akan saba kota lagi deh…. “
” Baguslah kak, apa sih yang kakak cari di kota, di sini semua sudah ada kak, alam kita ini rasanya sudah memenuhi apa yang paling kita cari selama ini. Kedamaian…. ” Uleng berujar sambil memeluk  manja Jingga  yang duduk di sampingnya. Yang lain tampak mengamini apa yang di katakan Uleng.
” … Dan CINTA tentunya…. ” Celetuk Pemi yang di sambut riuh rendah oleh yang lain.
” Betul… Betul… Betul.. Tak ada cinta tak ada kehidupan..”  seru Rena
” Setuju… Bagaikan makan nasi tanpa ayam… ” Lanjut Dewa
” Bukan tanpa ayam, tanpa jengkol…. hahahhaaaa” Dwi rasis menambahkan.
” Tanpa Cinta hidup hampa” Dwee tampak berapi api.
” Lemah, letih, lesu, lemes…” Sambung Ningwang.
” Tanpa cinta, puisiku hambar…” Rey ikut berkomentar sambil melirik ningwang. Ningwang tampak tesipu malu.
” Akupun mendukung dan selalu mencari yang namanya cinta…” Hikmat sang pemuda masjid yang alim berujar pelan sambil menunduk malu.
” Akupun demikian…. Meski jutek, akupun perlu cinta…” Deasy berkata dengan mimik mengharap.
” Aku cinta sapiku Tessa…. ” Ujar Indri sambil nyengir sapi.
” Tanpa cinta jepretan kameraku warnanya kelabu ” Rizal berkata sambil tersenyum lebar.
” Cinta yang membuatku bangkit dari kematian ” sambung Bocil sang bocah ingusan.
” Cinta yang menuntunku ke sini.. Tuiiinng.. Tuiiing… ” Seru Zwan si gadis petualang sambil meloncat loncat gembira.
” Cinta mampu menumbuhkan harapan yang sudah patah menjadi baru lagi, aku ingin mengubur semua kenangan kelam dalam asa cinta yang baru…” Listy sahabat Pemi berusaha mengurai  arti cinta atas  apa yang terjadi pada dirinya.
” Akupun tak menyangka, Cinta sanggup membawaku pada kisah lama yang indah… hmm… ” Venus tampak meresapi kata katanya penuh perasaan, mungkin teringat KVB.
” Kopiku saja ku racik dengan penuh cinta”  Ujar Budi Van Boil
” Tapi jangan sampai lupa di gulain mas budi, biar cintanya lebih terasa manis… ” Nissa mengedip genit pada Budi.
” Cinta itu…. Aku…..” Lala menyambung meski sedikit tak  nyambung.
” Ahh Lala, cinta itu kita semua kaleeee….. ” Kata miss Rochma sambil menepuk Lala yang masih tampak menghayati kata katanya sendiri.
” Cinta… Cinta… Cinta… kelepek kelepek ku di buatnya…. Hahahahhaa…. ” Refo tertawa  penuh cinta sambil mengepak ngepakkan tangannya ala burung bercinta.
” Meskipun cinta kadang sulit di mengerti, datang tak di undang pergi pun susah meski sudah di tendang…” Daeng Andi berdiplomasi cinta, sedikit pilu terdengar, sudut matanya melirik Rey dan ningwang yang sedang saling berpandangan penuh cinta. Semua sempat terhenti dalam keriaan seakan turut merasakan lara hati daeng Andi.
” Tanpa cinta…. apalah artinya Rangkat….” Seru mas Hans mengejutkan semua yang ada di pos ronda karena kedatangannya yang tiba tiba. Beberapa hari yang lalu mas Hans pamit pada pak kades dan bu kades untuk pulang kampung meminta restu orang tuanya karena akan melamar jeng Pemi.
” Horeeeeee….. Mas hans pulaaannnngggg…. Aroma Janur langsung semeriwing niihh…. ” Uleng tampak antusias menyambut kehadiran mas Hans. Yang lain pun langsung mengerubungi mas Hans tak kurang antusias sambil serempak menyanyikan petikan lagu ‘Kawin… Kawin… Bulan depan aku kawiinnnn… Kawin… Kawin…. Tidur ada yang nemenin…… Mas Hans dan Jeng pemi hanya saling memandang penuh arti lalu tersipu malu.
Suasana pos ronda di ujung hari itu tampak meriah dan indah, sungguh indah….. Semua larut dalam kemesraan yang namanya….  CINTA…..
1294476363830480370

Tags: episode cinta, desarangkat, sabrinashellby

Cinta terpendam (ECR 69)

cinta terpendam (ECR 69)
Selsa
Pagi masih berselimut kabut tipis, tapi aku sudah mulai membenahi dagangan di warungku. Akhir akhir ini, di setiap pagi aku selalu menyempatkan diri untuk berada di warung. Entah membenahi atau hanya sekedar duduk nikmati secangkir kopi. Dan kebiasaan ini telah sepuluh hari aku lakukan semenjak seseorang menyapaku di kepagian dengan senyum yang membuat aku serasa mabuk kepayang.
Aku tak tahu apakah ini cinta atau hanya karena aku kesepian setelah 15 tahun menjanda karena bapak Bain meninggal. Dan keramahan laki laki itu telah menyihirku sedemikian rupa hingga aku terkapar dalam harapan yang menjulang tinggi ke angkasa, walaaaahh…
” Mam,… ngapain pagi pagi dah melamun” sapaan Bain mengagetkan aku
” Ahh… bikin emak kaget aja kau, tumben sudah bangun nak?”  tanyaku menutupi kegugupan karena tertangkap sedang melamun.
” Dahlah mam, ngaku aja, akhir akhir ini Bain perhatikan Mami suka melamun, kangen ma papi ya…?” selidik Bain.
” Siapa yang melamun nak ?” tanyaku sambil pura pura marah.
” Mami itu yang melamun, apa mungkin mami jatuh cinta lagi ?”
” Ngawur aja kamu nak, Emak dah tua kok”.  Aku sangat gugup sekali, mungkinkah Bain merasakan kalau emaknya sedang jatuh cinta. Wah aku sangat malu sekali kalau sampai Bain tahu rahasia hatiku.
Laki laki itu memang akhir akhir ini selalu menghiasi pelangi di hatiku. Senyum manisnya, keramahannya dan juga tubuh tegapnya itu selalu membayangi di setiap helaan nafasku. Walau aku tak tahu apakah laki laki itu juga merasakan yang sama dengan yang kurasakan. Atau mungkinkah ini hanya ke GR an ku saja. Yang jelas aku rasakan bahwa tiap pagi sebelum berangkat kerja, laki laki itu selalu  menyapaku dengan keramahannya.
” Pagi bu Selsa… apa kabar hari ini ” itulah sapaannya yang selalu buatku tak bisa melepaskan bayangannya walau sedetikpun.
” Tuh mami melamun lagi ” teriak Bain, kali ini aku benar benar terlonjak kaget yang luar biasa.
” Mami pasti jatuh cinta , terlihat tuh muka mami bersemu merah, ayolah mam, jujur aja pada Bain” lanjut Bain, tanpa mem[erhatikan lagi padaku yang pura pura melotot marah.
“Ah kau makin ngaco, udahlah emak mau ke belakang cuci baju, kau tunggu warung ini bentar ya…?” aku berlalu dari hadapan Bain, karena aku sudah tak bisa menyembunyikan kegugupanku. Dan pagi ini kurelakan diri untuk tak menunggu laki laki itu lewat dan sekedar mengharap sapaan manisnya. Biarlah …. dari pada aku jadi bulan bulanan Bain. Masih ada hari esok untuk bisa melihat wajah dan nikmati sapaan lembutnya. kenapa tak mau lepas  Haruskah aku katakan pada Bain kalau emaknya yang sudah berumur senjaini jatuh cinta atau kubiarkan saja jadi cinta yang terpendam? Ah wajah itu ….. selalu membayangi langkah langkahku

Tags: desarangkat

Jumat, 07 Januari 2011

Cinta terpendam (ECR 69)

cinta terpendam (ECR 69)

1 dari 1 Kompasianer menilai Inspiratif.
Pagi masih berselimut kabut tipis, tapi aku sudah mulai membenahi dagangan di warungku. Akhir akhir ini, di setiap pagi aku selalu menyempatkan diri untuk berada di warung. Entah membenahi atau hanya sekedar duduk nikmati secangkir kopi. Dan kebiasaan ini telah sepuluh hari aku lakukan semenjak seseorang menyapaku di kepagian dengan senyum yang membuat aku serasa mabuk kepayang.
Aku tak tahu apakah ini cinta atau hanya karena aku kesepian setelah 15 tahun menjanda karena bapak Bain meninggal. Dan keramahan laki laki itu telah menyihirku sedemikian rupa hingga aku terkapar dalam harapan yang menjulang tinggi ke angkasa, walaaaahh…
” Mam,… ngapain pagi pagi dah melamun” sapaan Bain mengagetkan aku
” Ahh… bikin emak kaget aja kau, tumben sudah bangun nak?”  tanyaku menutupi kegugupan karena tertangkap sedang melamun.
” Dahlah mam, ngaku aja, akhir akhir ini Bain perhatikan Mami suka melamun, kangen ma papi ya…?” selidik Bain.
” Siapa yang melamun nak ?” tanyaku sambil pura pura marah.
” Mami itu yang melamun, apa mungkin mami jatuh cinta lagi ?”
” Ngawur aja kamu nak, Emak dah tua kok”.  Aku sangat gugup sekali, mungkinkah Bain merasakan kalau emaknya sedang jatuh cinta. Wah aku sangat malu sekali kalau sampai Bain tahu rahasia hatiku.
Laki laki itu memang akhir akhir ini selalu menghiasi pelangi di hatiku. Senyum manisnya, keramahannya dan juga tubuh tegapnya itu selalu membayangi di setiap helaan nafasku. Walau aku tak tahu apakah laki laki itu juga merasakan yang sama dengan yang kurasakan. Atau mungkinkah ini hanya ke GR an ku saja. Yang jelas aku rasakan bahwa tiap pagi sebelum berangkat kerja, laki laki itu selalu  menyapaku dengan keramahannya.
” Pagi bu Selsa… apa kabar hari ini ” itulah sapaannya yang selalu buatku tak bisa melepaskan bayangannya walau sedetikpun.
” Tuh mami melamun lagi ” teriak Bain, kali ini aku benar benar terlonjak kaget yang luar biasa.
” Mami pasti jatuh cinta , terlihat tuh muka mami bersemu merah, ayolah mam, jujur aja pada Bain” lanjut Bain, tanpa mem[erhatikan lagi padaku yang pura pura melotot marah.
“Ah kau makin ngaco, udahlah emak mau ke belakang cuci baju, kau tunggu warung ini bentar ya…?” aku berlalu dari hadapan Bain, karena aku sudah tak bisa menyembunyikan kegugupanku. Dan pagi ini kurelakan diri untuk tak menunggu laki laki itu lewat dan sekedar mengharap sapaan manisnya. Biarlah …. dari pada aku jadi bulan bulanan Bain. Masih ada hari esok untuk bisa melihat wajah dan nikmati sapaan lembutnya. kenapa tak mau lepas  Haruskah aku katakan pada Bain kalau emaknya yang sudah berumur senjaini jatuh cinta atau kubiarkan saja jadi cinta yang terpendam? Ah wajah itu ….. selalu membayangi langkah langkahku

Tags: desarangkat

Cinta dalam Semangkuk Jengkol ECR #68

12943952391137323083
Terkejut….iya pada saat dia memilihku
Terkejut….iya karena ku tak menyangka
Terkejut….iya kenapa ini harus terjadi
Menyesal…iya hal yg sdh lama harusnya kuhentikan mengapa hrs diulang
Menyesal…iya mengapa aku terlalu naif
Menyesal…iya karena tak dapat kurasakan arti kejujurannya..
Galau…iya apa yg akan terjadi di dalam sana
Galau…iya kumerasa sendiri, lagi… lagi… lagi…
Galau…iya bayangmu selalu menjadi siluet enggan pergi dari jingga hariku..
Sedih…iya saat aku sadar.. aku hanya boneka lucumu..
Sedih…iya tak ada kekasih hati yang membelaiku di sini,   tak ada yg menyapaku pada saat terbangun
Sedih…iya kemana harus disampaikan perasaan cinta ini
Bahagia…iya ini pelajaran yg paling berharga
Bahagia…iya ku merasa TUHAN masih menyayangiku dengan teguran ini
Bahagia…iya karena di dalam sini semua belum terlalu terlambat!!
hmm… aku hanya mencoba memaknai tumpukan rasaku yang mengendap. pedih ini belum juga sirna, aku hanya korban manipulasi rasa, ya.. ya…. benar… hanya sesaat tapi pesonanya mengikat rasaku, memasung nalarku, lelaki hujan… dia yang membuatku menghilang… sekarang dia juga yg membuatku kembali pada duniaku…  aku ingin pulang ke desa Rangkat, rindu kampung halaman, rindu Papi, mommy, dede Uleng, Tante Jutek, Paman Petani, Reina, Bang ande, ah… rumah kecilku yg nyaman, keluargaku yg hangat.
Aku melangkahkan kakiku ringan memasuki gapura desa… hmmm… rindu harumnya jengkol saus padang masakan mommy… entah dengan bumbu rahasia apa.. yg pasti selalu menggugah rasa laparku. Refo Torai.. apakah dia masih sewangi dulu?? Ahaha… dulu aku selalu nyaman dalam pelukannya… wangi parfumnya membuatku melayang… bagaimana ya kabar dia sekarang?? Gadis mana lagi yg berhasil menyentuh hatinya… Lala… hmm… pemuda puitis yg sarat dengan filosofi hidup, apa dia masih rajin mengumbar puisi cinta pada gadis-gadis Rangkat,… Bang Ibay si pemuda lebay… dulu aku sering tertawa bersama uleng setiap kali mengingat bang Ibay… semua dirayunya.. termasuk mommy… siapa yg tidak geli. Tiap malam menjelang tidur.. aku dan uleng tak pernah melewatkan acara tertawa bersama mengingat tingkah bang Ibay. Wow… rindu dengan Pemi dan Arra.. kami trio genit yg rajin menggoda semua pria-pria rangkat. Semakin mereka mabuk… semakin puas batin kami. Ahahahaha… muaaaah kami cukup berbisa.. hahahha… aku terus hanyut dengan semua kenanganku… sambil terus melangkah…tanpa terasa sampai juga didepan rumah. ku percepat langkahku…
“Dedeeeeeeeeeeeek ” teriakku saat kulihat Uleng duduk bengong di teras rumah…
“mommy…. Papiiii…. kakak Jingga pulaaang….. ” teriakan balasan uleng tidak kalah keras… aku peluk adik semata wayangku… dengan penuh rindu… mommy, Papi, tante jutek, reina semua keluar ke teras rumah… acara saling peluk tidak kami lewatkan. terimakasih Tuhan… aku sudah berada ditengah-tengah mutiara hatiku. teriak batinku penuh syukur.
“Jingga sayang, masuk… kamu pasti sudah lapar.. jengkol saus padang pesananmu sudah Mom siapkan, makanlah selagi hangat… ” suara lembut mom… yg lama aku rindukan…  yuuuummmyyy….. lapaaaar mom… ayo semua makan, acara penuh kerinduan berakhir dimeja makan.  sampai agak larut, kami masuk ke kamar kami masing-masing.
***************************
dee, gimana kabarnya Refo? bagaimana hubungan kalian.. masih berlanjutkah?
“ah, kakak Jingga… dede sudah tidak dengan Refo kak… “
“lalu?? “
“Dede, sudah milik Kak arif…”
“Kak Arif siapa? “
“Paman petani kak…”
hampir copot jantungku mendengar pengakuan jujur adikku.. aku segera duduk tegak diranjangku… aku guncang pundak adik semata wayangku… “dedeee yg benar?! kapan?? bagaimana ceritanya?? “
“mengalir begitu saja kak… dede tidak mampu menolak rasa yg tumbuh dalam hati dede, begitu juga dengan kak Arif, dede bahagia kak… doakan dede ya..  kakak sendiri bagaimana dengan pemuda kota itu?”
aku menarik nafas berat.. “sudah berakhir de.. ternyata kakak hanya korban imaginasinya, dia terlalu larut dalam istana mimpi yg dia bangun sendiri, semua hanya imaginasi yang tidak akan pernah nyata, pedih sich.. tapi kakak bersyukur Tuhan masih begitu baik, Dia Ingatkan kakak sebelum semua terlalu terlambat, kakak bisa kembali ke desa kita, ke rumah kita, malam ini kakak bisa melihat bintang dari jendela kamar ini bersama kamu.. kalau nggak mana bisa kakak malam ini temani kamu tidur”
“kakak jingga… dede kangen.. dedek sayang kakak…”
“sama sayang, kamu juga selalu dihati kakak”
mataku tak lepas dari jendela kamar, sinar bintang serasa lebih terang dari hari kemarin, sapa sang bulan serasa lebih hangat dari kemarin, sungguh malam yg penuh keajaiban…
***************************
Entah sudah berapa lama aku duduk di teras, berkelana dengan angan-anganku, mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain. Aku tidak menghitung detik-detik yang berlalu. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. bunga-bunga mawar kesayangan tante jutek semua mekar, reina sibuk dengan jemurannya, tante jutek sibuk dengan mawar-mawarnya. begitu riuh apa yg didepan mataku. tapi aku rasa pikiranku lebih meriah dari semua ini. semua buyar saat tiba-tiba juragan Rawa datang dengan gaya perlentenya.
“jingga…. Jingga… jingga…. kamu makin cantik saja” sapa Om rawa serenyah dulu.
“eh, Om rawa… mau ketemu papi ya… sebentar Jingga panggil Papi”
“hmm.. jingga sebentar… bisakah malam ini temani om makan malam di cafe Dorma? ada menu jengkol baru disana… jengkol sambal durian… enak tuh.. jingga mau? “
“hmm… boleh Om.. jingga juga lagi kangen jalan daripada jingga hanya bengong di rumah saja”
“sip! nanti om jemput kamu jam 7 ya.. “
“sip! om… jingga tunggu, bentar ya… jingga panggil Papi… nanti malam baru urusan dengan jingga”
“siip… ” jawab Om Rawa mantap.
***************************
gelap mulai turun, aku sudah siap dengan celana jeans hitam, t-shirt putih dan selendang polkadot hitam putihku.  malam ini langit ramai dipenuhi bintang. bulan juga enggan ketinggalan memamerkan wajahnya yg bulat sempurna. hanya sebentar aku menunggu om rawa, dia sudah datang menjemputku ke cafe Dorma. hmm.. cafe ini tetap dibuat seromantis mungkin. cahayanya dibuat temaram, ada nyala lilin disetiap mejanya. meja dengan politur coffe brown menambah hangat cahaya lilin diatasnya. om Rawa membimbingku duduk di paling sudut, aku hanya mengikuti langkahnya.  sampai kami duduk manis ditempat yg dia pilih.
“jingga mau minum apa?”
“wedang jahe aja om.. plus menu spesial jengkol sambal durian hehehe…. “
” sip! saya pilih menu yg sama ya… “
menu makanan kami sudah terhidang di meja, wow… dorma memang jago masak, setiap suapan begitu nikmat..  pelan-pelan aku nikmati menu ku, yg jarang aku jumpai bahkan nyaris tak ada selain di desa Rangkat…
“jingga, siapa pacarmu sekarang? “
“ga ada om… jingga baru patah hati.. baru jadi korban manipulasi rasa yg tidak jelas”
“hmmm… benar nich?? “
“benar om,  tapi jingga banyak belajar dari semua yg jingga alami kok… pelajaran yg sangat berharga buat jingga, supaya jingga lebih berhati-hati lagi…  om sendiri dengan siapa sekarang? rasanya banyak yg ingin jadi tambatan hati Om Rawa, sudah ada yg om pilih belum?”
“hmmm… belum Jing… masih ada yg saya tunggu.. “
“siapa om? ” tanyaku santai..
“Jingga siap jika om jujur?”
“santai aja Om… cerita aja… mungkin saja jingga bisa membantu om… siapa tahu… jangan-jangan Pemi ya?? bersaing dengan Hans dong…. hehehehe….”
“bukan jing… bukan… “
“Lalu??”
“kamu Jing… “
“hah????? om bercanda…” aku terperanjat untung saja jengkol terakhirku bisa meluncur dengan lancar ke kerongkonganku…
“tidak Jingga… Rasa ini sudah lama saya simpan, hanya saja bayang-bayang Refo tidak pernah lepas dari hatimu, saya hanya bisa menunggu tapi saya kecewa saat kau putuskan pindah ke kota, saya juga dengar jingga terbawa cinta pemuda kota, Reina adikmu banyak bercerita tentang kamu kepada saya. sekarang kamu kembali ke desa ini, kamu sendirian, saya pikir sebelum semua warga tahu kau sudah kembali, sebelum kau bertemu dengan Refo lagi, saya ungkapkan apa yg saya pendam selama ini, rasa tentang kamu jing… semua tentang kamu..”
“Om… jingga masih terlalu terkejut… beri jingga waktu untuk berpikir… beri jingga waktu untuk mencerna semuanya.. terima kasih jika om Rawa sudah menyimpan rasa untuk Jingga selama ini. hanya beri waktu untuk jingga berpikir dulu”
“memang tidak harus kau jawab sekarang Jingga…  asal kau tahu saja dulu, ini cukup buatku.”
“hmmm… cinta dalam semangkuk jengkol nich ceritanya”  godaku… berusaha mencairkan kekakuan yg ada..
kami tertawa bersama… malam sudah makin larut, sampai om Rawa menghantarku pulang.
malam ini aku merasa begitu molek bak kunang-kunang yg bercahaya, tidak ada perempuan yg tidak melayang saat dipuja, dan aku hanya perempuan biasa yg pasti tersanjung saat ada kumbang datang menawarkan cinta. aku bingung dengan semuanya.. dia cukup baik, tapi… haruskah secepat ini? apa yang harus kujawab padanya besok?? hatiku jadi resah…
catatan Jingga:
  • saudara-saudara jingga terkasih di seluruh Rangkat… jingga pulaaang….  yuuk… kita sama-sama hidupkan aroma jengkol di Rangkat… yuuuk… kita ramaikan komen ber ekor seperti dulu… yuuk.. kita penuhi Rangkat dengan salam muuuuaaaah lagi…. jingga rindu Rangkat yg hangat, Jingga rindu kasih mula-mula yg pertama kali tumbuh dalam setiap hati kita. bukankah kasih mula-mula itu yg mempertemukan kita semua?? pulang…. ayoo semua kembali pada kesejatian Rangkat yg dengan penuh perjuangan dibentuk oleh Mommy dan Pak Kades. jingga rindu senyum dan tawa rangkat seperti dulu… rinduu sekalii…
  • buat penduduk Rangkat yg belum mengenal jingga… karena jingga memang agak lama menghilang, saya Jingga putri pertama Mommy dan Pak Kades. slam kenal semua…  :)
  • hmmm…. *malu* bantu jingga berpikir… harus bagaimana jingga ke Om Rawa… :)
  • salam muuuuuuuaaaaahhhh buat semuanya… :)

Sebuah Rencana (ECR-67)

Uleng membuka jendela kamarnya. Sapaan angin subuh membelai wajahnya yang masih menggunakan mukena. Pujian kembali mengudara pada Sang Khalik, tak ada yang harus diragukan atas segala penciptaan dan rencanaNya. Uleng makin mempercayai itu, apalagi setelah segala peristiwa yang dilaluinya. Rona merah kembali menjadi warna di pipinya, bersaing dengan langkah mentari yang pelan-pelan mendaki kaki langit.
Peristiwa sore antara dia, Papi Yayok, Mommy, dan lelaki itu masih mengiang jelas. Betapa jawaban-jawaban yang terlontarkan dari lelaki itu menghadirkan haru di hatinya. Perempuan manapun pastilah akan merasa bahagia mendengarkan tuturan-tuturan itu, maka makin bertambahlah kesyukuran atasNya.
http://thumbs.dreamstime.com/thumblarge_152/1180568291Lt702D.jpg
http://thumbs.dreamstime.com/thumblarge_152/1180568291Lt702D.jpg
Uleng ingin membagi kebahagiaan yang dirasakannya. Ingin dibaginya pada seluruh warga Rangkat, utamanya pada orang-orang yang dekat dengannya. Orang yang selama ini selalu menjadi bahu buat segala keluh kesahnya sejak Jingga memutuskan bekerja di kota.
Senyum kecil tiba-tiba mengembang di bibirnya. Teringat ia malam perayaan tahun baru kemarin. Pandangannya tak sengaja membaca laku dua sosok manusia yang sangat dikenalnya. Sebuah rencana benderang di kepalanya.
***
“Mmh…rute hari ini adalah ke warnet Bunda Nyimas,” begitu batinnya. Maka bersegeralah Uleng bersiap-siap mumpung hari masih pagi. Gamis ungu muda dengan kerudung senada membalut tubuhnya. Langkah kakinya pelan tapi pasti menuju warnet Nyimas. Uleng begitu menikmati perjalanannya pagi ini. Menghirup wangi kopi dari warkop Budi van Boil, aroma segala masakan dari warung Pak Ibay dan Putri Gembul, bunga-bunga yang mekar di pekarangan Jeng Pemi, dan tak lupa ia menebar senyum pada beberapa warga yang sedang berkumpul di pos ronda.
“Pagi-pagi gini, Uleng mau ke mana?” sapa Lala yang asyik memainkan kacamata hitamnya.
“ Mau ke warnet Bunda Nyimas, Mas Lala.”
“Mau ditemenin ga ? Dianterin gitu,” Rizal sang repotter tiba-tiba menyalip pembicaraan.
“Hush… kalo soal menemani dan mengamankan, itu tugas saya,” Hans menyerobot sambil mengacungkan pentungan yang membuat Rizal memilih diam.
Ga usah, Uleng bisa kok jalan sendiri. Lagian di sini kan ga ada orang-orang jahat, kalo jahil sihbanyak he..he..,” tolak Uleng halus. Dia tidak mau ada kabar tak sedap menyebar yang kemungkinan memancing kecemburuan lelaki itu. Cukuplah peristiwa saat Lala mendekati tantenya yang jutek, tante Deasy, menjadi satu-satunya peristiwa yang menghadirkan cemburu di hati lelaki itu.
“Iya sih Uleng, nanti ada yang cemburu,” ujar Hans sambil mengedipkan mata. Ia teringat raut Jeng Pemi yang sebentar lagi akan menjadi pendamping hidupnya.
Kalo begitu, Uleng permisi ya, Mas,” Uleng berlalu dengan sekali lagi meninggalkan senyum yang harus mereka bagi tiga.
Seperti itulah suasana desa Rangkat. Segala ramah tamah berasal dari hati, menjalin tali persaudaraan meski tak sedarah, merajut benang persahabatan meski kadang berbeda. Semoga tak ada kemelut yang akan meluluhlantakkan kedamaian itu.
***
Tiba di warnet Nyimas, situasi masih sepi. Uleng hanya melihat D-Wee dan beberapa warga yang sedang asyik menatap layar komputer. Ada Zwan, Dudi, Rena, Dwi, Aldy, dan Bocah ESP. Semua tampaknya sedang asyik bermain ombak di dunia maya.
“Assalamu ‘alaikum, ka Wee…” D- Wee segera mengangkat kepalanya dari buku yang ditekurinya sedari tadi.
“Wa ‘alaikum salam, Dek. Ayo sini.”
“Bunda Nyimas mana, Kak?”
“Tante Da lagi ke sekolahan Bani, ada rapat orang tua murid katanya.”
“Ooow…”
“Uleng mau make komputer nomer berapa?”
“Ah ga kak, Uleng Cuma mau ngobrol aja ma kakak.”
Mengalirlah segala bahasan dari kedua gadis ini, mulai dari bencana yang membuka pergantian tahun hingga akhirnya sampai pada persiapan acara Uleng nanti.
“Pokoknya nanti biar kakak yang ngajarin Uleng dandan deh…” celoteh D-Wee saat pembicaran memasuki bab rias merias. Uleng hanya tersenyum kecil. Saat mereka asyik berbicara, melintaslah Refo yang menoleh sekilas ke dalam warnet, lalu melanjutkan langkahnya. Uleng menangkap tatapan D-Wee berubah hingga bayangan Refo menghilang.
“Ehm…kakak ma Refo cocok kok,” tiba-tiba saca ucapan Uleng membuat D-Wee gelagapan.
“Hush…ada-ada saja kamu, Dek. Refo itu masih tahap pemulihan setelah ditinggal kamu.”
“Ah, kata siapa? Refo itu kan dari dulu suka gombal sana-sini, hehe. Eh, tapi Uleng serius lhodengan omongan yang tadi. Kalian cocok.”
“Cocok apanya?”
“Yah ga tau sih… feeling Uleng saja mengatakan itu. Buktinya tadi pas Refo lewat, matanya singgah dulu ke sini. Trus waktu malam tahun baru kemarin, dia juga curi-curi pandang ma kak Wee.” Ucapan Uleng membuat pipi D-Wee merona merah marun.
“Tapi kan tadi Uleng bilang Refo suka gombal sana sini.”
“Manusia kan bisa berubah, Kak. Refo juga pasti demikian. Nantilah kalo Uleng ada waktu ngobrol ma Refo, Uleng nasehatin kalo perlu kupingnya dijewer biar ga doyan jual jamu eh jual rayu. Lagian Uleng tahu kok kalo Refo nitip salam ke kakak lewat Risty… hehehe.”
“Tau dari mana?” D-Wee tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
“Uleng dan Risty kan ce-es,” kedip Uleng. D-Wee makin malu, perasaanya terbaca oleh Uleng. Diingatnya lagi permintaan Ningwang tempo hari untuk mencari tahu tentang Refo. D-Wee gamang.
“Gimana, Kak?” pertanyaan Uleng membuyarkan lamunan D-Wee.
“Lihat nantilah, Dek,” jawaban D-Wee mengambang. Uleng hanya bisa menarik napas. Tapi, rencana di kepalanya masih bergulir. Sebuah rencana yang hasil akhirnya masih menjadi rahasia Sang Pencipta. Intinya berusaha, batin Uleng dengan senyum dikulum.
========================
>> Turut meramaikan… :)

Tags: desa rangkat: episode cintadesarangkat

Cinta Secangkir Kopi [ECR 100] 66

Angin sore ditepi desa rangkat.
Kala kegundahan bercengkrama bersama tatap mata yang kosong,wanginya sore dan kesejukan desa tak terhiraukan sama sekali,hanya ada kegaluan yang menjadi hanti dibawah matahari.Kucoba mengambil satu buah cangkir berwarna bening,kutuangkan satu sendok makan kopi hitam bersama satu setengah sendok makan gula tuk menambah rasa yang menggoda,tuankan air panas mendidih dan kucoba melarutkannya dalam gelas bening.Wangi aromanya merasuk kelubang hidungku dan mengajak syaraf dikepalaku tuk bangun dari kegaluan.
Desa rangkat.
Suasana secangkir kopi memberikan kesejukan tersendiri tuk menikmati udara sore yang menawan,gadis-gadis desa sedang asik memtik bunga-bunga aksara,dan sebagian asik merangkainya tuk hiasan didinding hati mereka.Sedangkan aku hanya sanggup terdiam dan menikmati kopi hitam sore hariku.
Sejenak kunikmati rasanya tanpa terpengaruh aromanya saja,ingin sekali kutenggelamkan benaku pada setiap seduhan sendok didalam cangkir bening bersama bubuk hitam yang sangat mempunyai keistimewaan tersendiri dilidah para penikmatnya.Walau tajam zat yang terkandung didalam bubuk hitamu,aku tetap setia tenggelam dalam seleraku disore hariku bersamamu.Menitipkan kegelisahanku kepada aromamu yang terbawa angin rangkat.
Ingin juga kurasakan berenang ditelaga aksara bersama penduduk rangkat,tapi apalah dayaku yang hanya peracik kopi hitam dimeja makan.Aku hanya sanggup menikmati elok telaga dan cerahnya wajah-wajah yang dihiasi senyuman yang membuat dinding hatiku bernyanyi.Walau terkadang wajah manis ibu kepala desa senantiasa menari dibenaku,hmmm tak beraniku menyentuhnya.Mungkin hanya sekedar singgah tuk sementara sambil menghibur lamunanku bersama jen pemi yang tatapnya menggetarkan naluri seorang pria.
Hmmm tralalalala…
Biarlah cintaku larut dalam seduhan kopi hitamku,dan kubagikan tuk para penikmatnya disudut-sudut kepenatan mereka diruang imaginasi.Dalam indahnya tawa dan canda diruang cengkrama penuh cinta.
***********
Sepertinya mentok deh…

Tags: episode cinta rangkatdesarangkatkopi hitamku